ALOHA

Blog ini merupakan coretan dari berbagai permasalahan baik tentang iman, pandangan hidup, kumpulan bahan perkuliahan, masalah kesehatan dan masalah-masalah lain dalam kehidupan manusia. Blog ini hanyalah sebuah media untuk sharing tentang berbagai hal.


“Sometimes the questions are complicated and the answers are simple.”(Dr. Seuss)

Quotation

Jumat, 01 Juni 2012

Perkembangan dan Peran Sosiologi


Sosiologi pada hakekatnya bukan semata-mata ilmu murni yang mengembangkan ilmu pengetahuan yang abstrak demi usaha peningkatan kualitas ilmu itu sendiri, namun sosiologi bisa juga menjadi ilmu terapan yang menyajikan cara-cara untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah guna memecahkan masalah praktis atau masalah sosial yang perlu ditanggulangi (Horton & Hunt, 1987 :41). Kekhususan sosiologi adalah bahwa perilaku manusia selalu dilihat dalam kaitannya dengan struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi, dan ditunjang bersama (Veeger, 1985 : 3 ).
Sosiologi mempelajari perilaku manusia dengan meneliti kelompok yang dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup suku bangsa,  keluarga, komunitas, pemerintahan dan berbagai organisasi sosial, agama, politik, bisnis dan organisasi lainnya.
Perkembangan Sosiologi
Perkembangan sosiologi dibentuk oleh setting sosialnya, dan sekaligus menjadikan setting sosialnya itu sebagai basis masalah pokok yang dikaji. Perkembangan sosiologi bisa dilacak pada saat terjadinya revolusi Perancis dan revolusi industri yang terjadi sepanjang abad 19. tokoh yang dianggap “Bapak Sosiologi” adalah August Comte. August Comte mencetuskan pertama kali nama sosiologi. Istilah sosiologi menjadi lebih populer setengah abad kemudian berkat jasa Herbert Spencer yang menulis  buku berjudul Principles of Sociology (1876).
Sejak awal kelahirannya, sosiologi banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial. Tetapi berbeda dengan filsafat sosial yang banyak dipengaruhi ilmu alam dan memandang masyarakat sebagai “mekanisme” yang dikuasai hukum-hukum mekanis, sosiologi menempatkan warga masyarakat sebagai individu yang relatif bebas. Perkembangan sosiologi makin mantap terjadi pada tahun 1895, ketika Emile Durkheim menulis buku “Rules of Sociology “. Durkheim menguraikan tentang pentingnya metode ilmiah di dalam sosiologi untuk meneliti fakta sosial. Menurut Durkheim, tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang ia sebut fakta sosial, yakni sebuah kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal, tetapi mampu mempengaruhi perilaku individu. Fakta sosial merupakan cara-cara bertindak, berfikir dan berperasaan yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Yang dimaksud fakta sosial disini bukan hanya bersifat material tetapi juga nonmaterial seperti kultur, agama, atau institusi sosial.
Pendiri sosiologi lainnya, Max Weber, memiliki pendekatan yang berbeda dengan Durkheim. Menurut Weber, sebagai ilmu ayng mencoba memahami masyarakat dan perubahan –perubahan yang terjadi di dalamnya, sosiologi tidak semestinya berkutat pada soal-soal pengukuran yang sifatnya kuantitatif dan sekedar mengkaji pengaruh faktor-faktor eksternal, tetapi yang lebih penting sosiologi bergerak pada upaya memahami di tingkat makna, dan mencoba mencari penjelasan pada faktor-faktor internal yang ada pada masyarakat itu sendiri.
Pada abad 20, perkembangan sosiologi makin variatif. Dipelopori tokoh-tokoh ilmu sosial kontemporer, terutama Anthoni Gidden. Fokus nimat sosiologi bergeser dari structures ke agency, dari masyarakat yang dipahami terutama seperangkat batasan eksternal yang membatasi bidang pilihan yang bersedia untuk anggota-anggota masyarakat tersebut, dan dalam beberapa hal menentukan perilaku mereka, menuju ke era baru ; memahami latar belakang sosial sebagai kumpulan sumber daya yang diambil oleh aktor-aktor untuk mengejar kepentingan mereka sendiri.

Interaksi dan Tindakan sosial
Interaksi sosial dan simbol
Secara teoritis sekurang-kurangnya ada dua syarat bagi terjadinya suatu interaksi sosial, yaitu terjadinya kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial tidak tergantung dari tindakan, tetapi juga tergantung pada adanya tanggapan terhadap tindakan tersebut.
Dalam komunikasi seringkali muncul berbagai macam penafsiran terhadap makna sesuatu atau tingkah laku orang lain. Di dalam komunikasi manusia menggunakan kata-kata, yakni simbol-simbol suara yang mengandung arti bersama dan bersifat standard.  Simbol disini berbeda dengan tanda. Makna sebuah tanda biasanya identik dengan bentuk fisiknya dan dapat ditangkap dengan panca indera, sedangkan simbol bisa abstrak.  Simbol adalah sesuatu yang “lepas” dari apa yang disimbolkan, karena komunikasi manusia itu tidak terbatas pada ruang, penampilan atau sosok fisik, dan waktu dimana pengalaman inderawi itu berlangsung, sebaliknya manusia dpat berkomunikasi  tentang objek dan tindakan jauh diluar batas waktu dan ruang. Makna dari suatu simbol tertentu tidak selalu bersifat universal : berlaku sama disetiap situasi dan daerah. Nilai dan makna sebuah simbol tergantung pada kesepakatan orang-orang atau kelompok yang mempergunakan simbol itu. Makna dari suatu simbol tertentu dalam proses interaksi sosial tidak begitu saja bisa langsung diterima dan dimengerti oleh semua orang, melainkan harus terlebih dahulu ditafsirkan.

Jenis Tindakan Sosial
Menurut Max Weber, metode yang bisa dipergunakan untuki memahami arti-arti subyektif tindakan seseorang adalah dengan verstehen. Apa yang dimaksud dengan verstehen adalah kemampuan untuk berempati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya akan dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya akan dilihat menurut perspektif itu (Johnson, 1986 :216). Weber mengklasifikasikan empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat. Keempat jenis tindakan sosial itu adalah :
1.    Rasionalitas instrumental. Tindakan seseorang yang didasarkan atas pertimbangan dan opilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
2.    Rasionalitas yang berorientasi nilai. Tindakan rasional yang didasarkan pada nilai-nilai absolut tertentu, seperti agama, dll.
3.      Tindakan tradisional.  Berdasarkan pada tradisi nenek moyang.
4.  Tindakan afektif. Tindakan yang didominasi oleh perasaan dan emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar.