Manajemen Isu oleh Tucker, Kerry & Broom sebagaimana yang dikutip oleh Regester
didefinisikan sebagai manajemen proses yang bertujuan untuk mempertahankan
pasar, mengurangi risiko, menciptakan peluang dan mengatur reputasi (corporate reputation) sebagai asset
organisasi bagi keuntungan organisasi atau pemegang saham[1].
Sedangkan Cutlip, Center & Broom menguraikan sebagai proses proaktif untuk
mengantisipasi, mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi isu-isu
kebijakan yang mempengaruhi hubungan mereka dengan organisasi public.[2] Berdasarkan
definisi di atas dapat dikatakan manajemen isu merupakan pengaturan (manajemen)
yang dilakukan secara proaktif dalam
mengantisipasi, mengidentifikasi maupun mengevaluasi kebijakan coroporat
kaitannya dengan peluang pasar dan pelanggan, mengurangi risiko dan pengaturan
reputasi korporat.
Tidak
semua isu perlu ditanggapi, tetapi perlu memilah-milah isu yang perlu
ditanggapi, karena tidak semua isu akan berhubungan dengan masalah reputasi
korporat. Isu-isu yang perlu segera
ditanggapi dan dikelola oleh korporat adalah isu-isu:
- Isu yang aktual yang merupakan isu yang sedang terjadi atau dalam proses kejadian, sedang hangat dibicarakan dan isu yang diprakirakan akan terjadi bukan isu yg sudah lepas dari perhatian masyarakat / isu sudah basi
- Mempunyai nilai kekhalayakan (public value), artinya langsung menyangkut hajat hidup orang banyak, bukan hanya untuk kepentingan seseorang atau sekelompok kecil orang.
- Memiliki nilai problematik, artinya masalahah yang mendesak dan seriaus yang harus segera ditangani. Bila tidak segera ditangani disinyalir akan berpengaruh pada reputasi korporat.
Dalam kegiatan Public Relations pengananan
manajemen isu selalu disandingkan dengan manajemen krisis, karena isu dan
krisis memiliki kedekatan satu sama lain, meskipun isu tidak selalu menyebabkan
krisis. Fearn-Banks mengulas manajemen krisis sebagai proses perencanaan
strategis terhadap krisis atau titik balik negatif, sebuah prosesw yang mengubah
beberapa risiko dan ketidakpastian dari keadaan negatif dan berusaha agar
organisasi cepat mengendalikan sendiri aktivitasnya.[3]
Dalam manajemen krisis diperlukan komunikasi krisis, dalam buku yang sama
Feran-Banks menuliskan komunikasi krisis (crisis communication) sebagai menyangkut
transfer informasi dari orang-orang penting (publik) untuk membantu menghindari
atau mencegah krisis (atau kejadian negatif), pulih dari krisis dan
mempertahankan atau meningkatkan reputasi.
Manajemen isu lebih menekankan pada
penangananan untuk mempertahankan pasar dan reputasi sehubungan dengan
munculnya isu-isu yang dapat mempengaruhi reputasi korporat sedangkan manajemen
krisis lebih mengacu kepada penanganan untuk mencegah terjadinya suatu krisis.
Manajemen isu dan krisis merupakan agenda
yang penting dalam sebuah korporat karena akan berdampak pada reputasi korporat
yang berdampak pada tingkat kepercayaan stakeholders terhadap korporat. Penanganan
isu yang berkembang harus direncanakan baik bahkan jauh hari sebelum isu-isu
itu merebak dan meresahkan para stakeholder. Penanganan isu yang tidak
komprehensif akan menyebabkan terjadinya krisis di dalam korporat.
PERENCANAAN MANAJEMEN ISU DAN PENGENDALIAN RUMOR
Manajemen isu sebagai rangkain kegiatan Public
Relations dalammembangun reputasi korporat merupakan kegiatan yang harus
dilakukan dengan perencanaan yang baik. Gonzales-Harero dan Patt memperkenalkan
konsep stretetgi manajemen krisis dengan mengacu kepada tahapan kisis yang
terjadi. Model penanganan krisis oleh Gonzales-Harrero & Patt meliputi
manajemen isu, perencanaan pencegahan, krisis terjadi dan pasca krisis.[4]
Penanganan isu dan krisis dalam setiap tahapnya dapat direncanakan seperti di
bawah::
1. Manajemen Isu
Dalam perencanaan manajemen isu perlu mempertimbangkan
a. Memonitor lingkungan, mencermati trend
(isu) baru di masyarakat yang mungkin mempengaruhi organisasi di masa datang.
b. Mengumpulkan data atas isu-isu yang
berpotensi menjadi krisis dan mengevaluasinya.
c. Mengembangkan strategi komunikasi dan
konsentrasi pada usaha pencegahan terjadinya krisis.
d. Studi kasus dari krisis yang terjadi pada
korporat lain yang sejenis.
2. Perencanaan Pencegahan
Perencanaan terhadap pencegahaan krisis dilakukan dengan:
a. Penyusunan kebijakan proaktif mengenai
isu-isu yang berkembang
b. Penganalisaan relasi organisasi dengan
publik
c. Perancangan anggota tim manajemen krisis
yang potensial.
d. Menunjuk dan melatih wakil organisasi.
e. Menentukan pesan, sasaran dan media yang
akan digunakan dalam menerapkan rencana komunikasi krisis.
f.
Mendidik
khalayak internal dalam bersikap dan bertindak dalam menghadapi krisis.
g. Menguji prosedur krisis.
3. Krisis Terjadi
Kegiatan yang terjadi pada saat krisis terjadi
adalah:
a. Memperbaiki dan memgimplementasikan
rencana krisis
b. Pengembangan materi komunikasi
c. Mengkomunikasikan tindakan yang diambil
untuk mengatasi krisis pada publik korporat.
d. Menangani publik yang kerkena dampak dari
krisis
e. Mencari dukungan dari pihak ketiga seperti
para ahli.
f. Penerapan komunikasi internal
g. Melaksanakan program sehari-hari dengan
normal.
4. Pasca krisis
a. Menjalin hubungan dengan publik korporat
(stakeholders)
b. Memantau isu dan krisis yang mengancam
korporat
c. Mengadakan press release terhadap setiap
tindakan yang sudah dilakukan dalam mengatasi krisis.
d. Mengevaluasi atas krisis yang ada.
e. Menlampirkan feedback atas rencana krisis
yang ada.
f.
Mengembangkan
strategi komunikasi jangka panjang untuk mereduksi kerusakan dampak yang
ditimbulkan oleh krisis.
STUDI KASUS
Manajemen Isu dan Krisis PLN dalam Menangani Krisis Listrik
Harian Nasional Kompas dalam headlinenya pada
tanggal 31 Mei 2009 menuliskan krisis listrik hingga tahun 2009. Pemadaman
listrik terjadi secara beruntun dalam jangka waktu yang cukup panjang, dalam
waktu yang bersamaan beberapa gardu listrik di ibu kota mengalami ledakan.
Sehingga memunculkan stigma negatif terhadap PLN. Masyarakat merasa pelayanan
PLN begitu buruk, kerugian akibat pemutusan listrik mencapai angka yang tidak
sedikit. Dalam harian Kompas tersebut Wakil direktur utama PT Perusahaan
Listrik Negara, Rudiantara, menjelaskan kondisi PLN saat ini. “Pemadaman tidak
bisa dihindari karena kapasitas PLN tidak bertambah secara signifikan,” jelas
Rudiantara (RA) di hadapan sejumlah media.
Secara transparan, RA memaparkan pertumbuhan pemakaian listrik kuartal
1-2008 mencapai 6,8%, padahal target pertumbuhan dalam APBN hanya 1,9%. Dengan
pertumbuhan konsumsi listrik di atas 6%, cadangan daya pun terus tergerus,
menjadi 25%, dari batas yang seharusnya 40%.
RA menjanjikan, kondisi kelistrikan akan membaik setelah beberapa proyek
10.000 megawatt (MW) mulai masuk pada pertengahan 2009. Yang jelas, dengan
defisit 800-900 MW di wilayah Jawa-Bali, maka pemadaman bergilir pun tak
terelakkan.
Kelangkaan listrik memang sudah menjadi isu nasional sejak 2007. Tahun ini,
pemadaman bergilir bahkan sudah dilakukan. Namun, selama ini, belum ada
penjelasan komprehensif dari pihak BUMN ini tentang kondisi PLN. Yang ada hanya
informasi tentang akan adanya pemadaman listrik di wilayah tertentu di jam
tertentu atau permintaan maaf saat salah satu mesin pembangkitnya mati.
Masyarakat, terutama dunia usaha, yang menggantungkan kelancaran bisnisnya
pada pasokan listrik tidak mendapatkan gambaran yang memadai tentang kejelasan
pasokan listrik. Ini tentu saja mempengaruhi sejumlah rencana bisnis maupun
pengembangan yang akan dilakukan.
Transparansi informasi yang disampaikan PLN -– walau belum menjawab soal
krisis listrik itu sendiri -– setidaknya memberi pemahaman baru bagi konsumen
listrik. Terutama tentang bagaimana posisi PLN dalam keterbatasan energi
listrik, dan apa yang dilakukan BUMN ini untuk secara bertahap mengurangi
defisit listrik nasional ini.
Melalui keterbukaan informasi, PLN telah mengawali sebuah komunikasi krisis
yang baik. Kenapa? Karena, soal keterbatasan energi listrik telah menjadi
sebuah krisis nasional, dan harus dikelola dengan seksama.
Dalam situasi krisis (baik teknis maupun non teknis), korporasi perlu
mengindentifikasi masalah inti, merencanakan langkah penanganan secara tepat
dan sistematis.
“Memanajemeni masalah inti sangat krusial agar isu tidak berkembang ke
mana-mana, yang nantinya tak mampu dikontrol oleh manajemen perusahaan itu
sendiri,” kata John White, seorang konsultan PR dan manajemen komunikasi krisis
dari Inggris.
Dalam kasus PLN, persoalan intinya adalah ketidakseimbangan pertumbuhan
pasokan dan pemakaian. Karenanya, berkomunikasi dengan stakeholder
(masyakarat pengguna) menjadi sangat penting. Ini untuk membangun pemahaman
pelanggan tentang persoalan yang tengah dihadapi PLN, mendapatkan empati
pelanggan, bahkan memungkinkan untuk melibatkannya dalam mencari solusi.
Langkah selanjutnya adalah identifikasi dengan siapa saja mesti
berkomunikasi. Saat ini, manajemen PLN secara intens melakukan road show,
berdialog business to business dengan pelanggan korporasi melalui
pelbagai asosiasi, seperti Kadin, kawasan Industri, REI, industri
telekomunikasi, dan lainnya.
Pendekatan B to B memang dianggap langkah strategis karena perusahaan
adalah konsumen besar listrik, dan sekaligus stakeholder yang
diharapkan mampu menjadi influencers bagi pengguna kelas perumahan.
Logikanya, jika para pengusaha sudah memahami situasi “krisis” listrik,
mereka diharapkan mampu memberi pengaruh positif bagi lingkungannya termasuk
karyawannya. Ini tak cuma untuk pemahaman di level industri, tapi juga di
tingkat retail, perumahan.
“Kami harapkan akan terjadi trickle down effect
dari langkah ini,” jelas Rudiantara kepadaku seusai mengikuti acara Bike to
Work bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Jumat pagi lalu.
Lewat dialog dengan pelbagai pihak, publik bisa jadi berempati pada salah
satu soal yang dihadapi PLN. Ini memang harus dijaga kesinambungannya, agar
publik pengguna ter-update tentang situasi pasokan listrik yang sangat
mereka butuhkan.
Namun, tampaknya direksi PLN harus bekerja lebih keras lagi. Tak cuma pada
mensosialisasikan soal supply and demand listrik saja. Tapi,
lebih jauh lagi, yaitu menjadikan hemat energi menjadi bagian dari gaya
hidup masyarakat, dan masyarakat paham tentang pentingnya penghematan energi.
Kampanye hemat energi akan lebih tepat jika dikemas melalui pendekatan corporate
social responsibility yang kemudian dikomunikasikan melalui pelbagai kanal
komunikasi yang ada.
Yang jelas, hemat listrik sejatinya tak cuma berarti mengurangi pemakaian
daya, yang ujung-ujungnya mengurangi tagihan rekening listrik. Tapi, ini juga
bisa menjadi sebuah gerakan hijau, yang sangat berperan dalam memerangi isu
dunia, yaitu pemanasan global.
[1]
Michael Regester & Judy Larkin. 2005 Risk
Issues and Crisis Manegement: A Casebook of Best Practice (3rd
Edition), Philadephia, CIPR.
[2] Scott M.
Cutlip, Allen H Center & Glen M Broom, 2000. Efective Public Relations.
[3] Kathleen
Fearn-Banks, 2007. Crisis Communicatio: A
Casebook Approach. New Jersey: Lawrence Elbraunm Assosiate.
[4]A
Gonzales-Harreo dan A.B. Pratt. 1996. An
Integrated Symmetrical Mode for Crisis-Communication Management. Journal Of
Public Relation Research 8(2), pp. 79-105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar