Dalam kehidupan ini kecerdasan dan sikap perlu dikombinasikan. Kecerdasaan yang
dieksploitasi habis-habisan tanpa disertai dengan attitude yang baik makaakan dapat menghancurkan diri sendiri atau
bahkan umat manusia. Sebagai contoh penemuan dan pengembangan nuklir yang tidak
disertai dengan attitude yang baik dapat menghancurkan lingkungan bahkan hidup
manusia.
Dalam artikel ini saya akan mencoba memberikan cerita tentang kehidupan
orang yang memiliki IQ (tingkat kecerdasan) yang di atas rata-rata tetapi
hidupnya tidak banyak memberikan kontribusi bagi banyak orang. Bahkan orang
yang demikian genius hidup sangat mengenaskan dan tidak memiliki arti apa-apa. Cerita tentang manusia super yang memiliki IQ di atas rata-rata yang bernama William J Sidis ini diambil dari beberapa sumber. Kisah hidup William J Sidis dapat dilihat dibawah ini.
Mungkin
nama William James Sidis masih asing dan kurang familiar di telinga kita.
Siapakah manusia terjenius yang pernah dimiliki dunia? Da Vinci? John Stuart
Mills? Atau Albert Einstein seperti yang selama ini diperkirakan orang? Ketiganya
memang dianggap jenius-jenius besar yang telah memberikan banyak pengaruh
terhadap bidangnya masing-masing. Tapi gelar manusia terjenius yang pernah
dimiliki dunia rasanya tetap layak diberikan kepada William James Sidis. Siapakah
ia? Mengapa namanya tenggelam dan kurang dikenal walau angka IQnya mencapai
kisaran 250–-300?..
Keajaiban
Sidis diawali ketika dia bisa makan sendiri dengan menggunakan sendok pada usia
8 bulan. Pada usia belum genap 2 tahun, Sidis sudah menjadikan New York Times
sebagai teman sarapan paginya. Semenjak saat itu namanya menjadi langganan
headline surat kabar : menulis beberapa buku sebelum berusia 8 tahun,
diantaranya tentang anatomy dan astronomy. Pada usia 11 tahun Sidis diterima di
Universitas Harvard sebagai murid termuda. Harvard pun kemudian terpesona
dengan kejeniusannya ketika Sidis memberikan ceramah tentang Jasad Empat
Dimensi di depan para professor matematika.
Lebih
dasyat lagi : Sidis mengerti 200 jenis bahasa di dunia dan bisa menerjamahkannya
dengan amat cepat dan mudah. Ia bisa mempelajari sebuah bahasa secara
keseluruhan dalam sehari ! Keberhasilan William Sidis adalah keberhasilan sang
Ayah, Boris Sidis yang seorang Psikolog handal berdarah Yahudi. Boris sendiri
juga seorang lulusan Harvard, murid psikolog ternama William James (Demikian ia
kemudian memberi nama pada anaknya) Boris memang menjadikan anaknya sebagai
contoh untuk sebuah model pendidikan baru sekaligus menyerang sistem pendidikan
konvensional yang dituduhnya telah menjadi biang keladi kejahatan, kriminalitas
dan penyakit. Siapa yang sangka William Sidis kemudian meninggal pada usia yang
tergolong muda, 46 tahun – sebuah saat dimana semestinya seorang ilmuwan berada
dalam masa produktifnya. Sidis meninggal dalam keadaan menganggur, terasing dan
amat miskin. Ironis. Orang kemudian menilai bahwa kehidupan Sidis
tidaklah bahagia.
Popularitas dan kehebatannya pada bidang
matematika membuatnya tersiksa. Beberapa tahun sebelum ia meninggal, Sidis
memang sempat mengatakan kepada pers bahwa ia membenci matematika – sesuatu
yang selama ini telah melambungkan namanya. Dalam kehidupan sosial, Sidis hanya sedikit memiliki teman. Bahkan ia juga
sering diasingkan oleh rekan sekampus. Tidak juga pernah memiliki seorang pacar
ataupun istri. Gelar sarjananya tidak pernah selesai, ditinggal begitu saja. Ia
kemudian memutuskan hubungan dengan keluarganya, mengembara dalam kerahasiaan,
bekerja dengan gaji seadanya, mengasingkan diri. Ia berlari jauh dari kejayaan
masa kecilnya yang sebenarnya adalah proyeksi sang ayah. Ia menyadarinya bahwa
hidupnya adalah hasil pemolaan orang lain. Namun, kesadaran memang sering
datang terlambat.
Mengharukan
memang usaha Sidis. Ada keinginan kuat untuk lari dari pengaruh sang Ayah,
untuk menjadi diri sendiri. Walau untuk itu Sidis tidak kuasa. Pers dan publik
terlanjur menjadikan Sidis sebagai sebuah berita. Kemanapun Sidis bersembunyi,
pers pasti bisa mencium. Sidis tidak bisa melepaskan pengaruh sang ayah begitu
saja. Sudah terlanjur tertanam sebagai sebuah bom waktu, yang kemudian
meledakkan dirinya sendiri. Ternyata orang yang jenius tak selama dapat hidup
dengan bahagia dan menikmati kehidupannya.
Dari kisah hidup William Sidis ini menunjukkan bahwa kecerdasan bukanlah
segalanya dalam kehidupan manusia. Masih perlu menambahkan attitude di dalam
kehidupan untuk mendapatkan kesuksesan dan memiliki hidup yang bernilai bagi
orang lain. Bagi kita yang memiliki tingkat kecerdasan pas-pasan tidak perlu
berkecil hati karena kita masih tetap dapat hidup sukses yang terpenting adalah
sikap untuk terus belajar dan bekerja keras dan mengucap syukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar