Sosiologi pada
hakekatnya bukan semata-mata ilmu murni yang mengembangkan ilmu pengetahuan
yang abstrak demi usaha peningkatan kualitas ilmu itu sendiri, namun sosiologi
bisa juga menjadi ilmu terapan yang menyajikan cara-cara untuk mempergunakan
pengetahuan ilmiah guna memecahkan masalah praktis atau masalah sosial yang
perlu ditanggulangi (Horton & Hunt, 1987 :41). Kekhususan sosiologi adalah
bahwa perilaku manusia selalu dilihat dalam kaitannya dengan struktur kemasyarakatan
dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi, dan ditunjang bersama (Veeger, 1985 : 3
).
Sosiologi
mempelajari perilaku manusia dengan meneliti kelompok yang dibangunnya.
Kelompok tersebut mencakup suku bangsa,
keluarga, komunitas, pemerintahan dan berbagai organisasi sosial, agama,
politik, bisnis dan organisasi lainnya.
Perkembangan Sosiologi
Perkembangan
sosiologi dibentuk oleh setting sosialnya, dan sekaligus menjadikan setting
sosialnya itu sebagai basis masalah pokok yang dikaji. Perkembangan sosiologi
bisa dilacak pada saat terjadinya revolusi Perancis dan revolusi industri yang
terjadi sepanjang abad 19. tokoh yang dianggap “Bapak Sosiologi” adalah August
Comte. August Comte mencetuskan pertama kali nama sosiologi. Istilah sosiologi
menjadi lebih populer setengah abad kemudian berkat jasa Herbert Spencer yang
menulis buku berjudul Principles of Sociology (1876).
Sejak awal
kelahirannya, sosiologi banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial. Tetapi berbeda
dengan filsafat sosial yang banyak dipengaruhi ilmu alam dan memandang
masyarakat sebagai “mekanisme” yang dikuasai hukum-hukum mekanis, sosiologi
menempatkan warga masyarakat sebagai individu yang relatif bebas. Perkembangan
sosiologi makin mantap terjadi pada tahun 1895, ketika Emile Durkheim menulis buku
“Rules of Sociology “. Durkheim
menguraikan tentang pentingnya metode ilmiah di dalam sosiologi untuk meneliti
fakta sosial. Menurut Durkheim, tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang ia
sebut fakta sosial, yakni sebuah kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal,
tetapi mampu mempengaruhi perilaku individu. Fakta sosial merupakan cara-cara
bertindak, berfikir dan berperasaan yang berada di luar individu, dan mempunyai
kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Yang dimaksud fakta sosial disini bukan
hanya bersifat material tetapi juga nonmaterial seperti kultur, agama, atau
institusi sosial.
Pendiri
sosiologi lainnya, Max Weber, memiliki pendekatan yang berbeda dengan Durkheim.
Menurut Weber, sebagai ilmu ayng mencoba memahami masyarakat dan perubahan
–perubahan yang terjadi di dalamnya, sosiologi tidak semestinya berkutat pada
soal-soal pengukuran yang sifatnya kuantitatif dan sekedar mengkaji pengaruh
faktor-faktor eksternal, tetapi yang lebih penting sosiologi bergerak pada
upaya memahami di tingkat makna, dan mencoba mencari penjelasan pada
faktor-faktor internal yang ada pada masyarakat itu sendiri.
Pada abad 20,
perkembangan sosiologi makin variatif. Dipelopori tokoh-tokoh ilmu sosial
kontemporer, terutama Anthoni Gidden. Fokus nimat sosiologi bergeser dari structures ke agency, dari masyarakat yang dipahami terutama seperangkat batasan
eksternal yang membatasi bidang pilihan yang bersedia untuk anggota-anggota
masyarakat tersebut, dan dalam beberapa hal menentukan perilaku mereka, menuju
ke era baru ; memahami latar belakang sosial sebagai kumpulan sumber daya yang
diambil oleh aktor-aktor untuk mengejar kepentingan mereka sendiri.
Interaksi dan Tindakan sosial
Interaksi sosial dan simbol
Secara teoritis
sekurang-kurangnya ada dua syarat bagi terjadinya suatu interaksi sosial, yaitu
terjadinya kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial tidak tergantung dari
tindakan, tetapi juga tergantung pada adanya tanggapan terhadap tindakan
tersebut.
Dalam
komunikasi seringkali muncul berbagai macam penafsiran terhadap makna sesuatu
atau tingkah laku orang lain. Di dalam komunikasi manusia menggunakan
kata-kata, yakni simbol-simbol suara yang mengandung arti bersama dan bersifat
standard. Simbol disini berbeda dengan
tanda. Makna sebuah tanda biasanya identik dengan bentuk fisiknya dan dapat
ditangkap dengan panca indera, sedangkan simbol bisa abstrak. Simbol adalah sesuatu yang “lepas” dari apa
yang disimbolkan, karena komunikasi manusia itu tidak terbatas pada ruang, penampilan
atau sosok fisik, dan waktu dimana pengalaman inderawi itu berlangsung,
sebaliknya manusia dpat berkomunikasi
tentang objek dan tindakan jauh diluar batas waktu dan ruang. Makna dari
suatu simbol tertentu tidak selalu bersifat universal : berlaku sama disetiap
situasi dan daerah. Nilai dan makna sebuah simbol tergantung pada kesepakatan
orang-orang atau kelompok yang mempergunakan simbol itu. Makna dari suatu
simbol tertentu dalam proses interaksi sosial tidak begitu saja bisa langsung
diterima dan dimengerti oleh semua orang, melainkan harus terlebih dahulu
ditafsirkan.
Jenis Tindakan Sosial
Menurut Max
Weber, metode yang bisa dipergunakan untuki memahami arti-arti subyektif
tindakan seseorang adalah dengan verstehen.
Apa yang dimaksud dengan verstehen adalah kemampuan untuk berempati atau
kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang
perilakunya akan dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya akan dilihat
menurut perspektif itu (Johnson, 1986 :216). Weber mengklasifikasikan empat
jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat.
Keempat jenis tindakan sosial itu adalah :
1. Rasionalitas instrumental. Tindakan seseorang yang
didasarkan atas pertimbangan dan opilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan
tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
2. Rasionalitas yang berorientasi nilai. Tindakan rasional
yang didasarkan pada nilai-nilai absolut tertentu, seperti agama, dll.
3. Tindakan tradisional.
Berdasarkan pada tradisi nenek moyang.
4. Tindakan afektif. Tindakan yang didominasi oleh
perasaan dan emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar.