PENDAHULUAN
Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Meski benar, dramaturgi juga digunakan dalam istilah teater namun term dan karakteristiknya berbeda dengan dramaturgi yang akan kita pelajari. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles. Sekitar tahun 350 SM, Aristoteles, seorang filosof asal Yunani, menelurkan, Poetics, hasil pemikirannya yang sampai sekarang masih dianggap sebagai buku acuan bagi dunia teater.
KONSEP DRAMATURGI
Pandangan Goffman tentang diri dibentuk oleh pendekatan dramaturginya ini. Menurut Goffman (sebagaimana menurut Mead dan interaksionis simbolik lainnya) diri adalah :
Bukan sesuatu yang bersifat organik yang mempunyai tempat khusus ... Dalam menganalisis diri (self), kita mengambilnya dari pemiliknya ... dari orang yang akan sangat diuntungkan atau dirugikan olehnya, karena ia dan tubuhnya semata hanya menyediakan patokan bagi sesuatu yang menghasilkan kerjasama yang akan tergantung untuk sementara ... Cara menghasilkan dan mempertahankan diri tak terletak pada patokan itu (Goffman, 1959:252-253).
Menurut Goffman, diri bukan milik aktor tetapi lebih sebagai hasil interaksi dramatis antara aktor dan audien. Diri adalah ”pengaruh dramatis yang muncul ... dari suasana yang ditampilkan” (1959:253). Karena diri adalah hasil interaksi dramatis, maka mudah terganggu selama penampilannya (Misztal, 2001). Dramaturgi Goffman memerhatikan proses yang dapat mencegah gangguan atas penampilan diri. Meski bagian terbesar bahasannya ditekankan pada kemungkinan interaksi dramaturgis ini, Goffman menunjukkan bahwa kebanyakan pelaksanaannya adalah sukses. Hasilnya adalah bahwa dalam keadaan biasa diri, yang kokoh serasi dengan pelakunya dan ”penampilannya” berasal dari pelaku.
Goffman berasumsi bahwa saat berinteraksi, aktor ingin menampilkan perasaan diri yang diterima oleh orang lain. Tetapi, ketika menampilkan diri, aktor menyadari bahwa anggota audien dapat mengganggu penampilannya. Karena itu aktor
Dramaturgis merupakan teori yang mempelajari proses dari perilaku dan bukan hasil dari perilaku. Ini merupakan asas dasar dari penelitian-penelitian yang menggunakan pendekatan scientific. Obyektifitas yang digunakan disini adalah karena institusi tempat dramaturgi berperan adalah memang institusi yang terukur dan membutuhkan peran-peran yang sesuai dengan semangat institusi tersebut. Institusi ini kemudian yang diklaim sebagai institusi total sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya.
menyesuaikan diri dengan pengendalian audien, terutama unsur-unsurnya yang dapat mengganggu. Aktor berharap perasaan diri yang mereka tampilkan kepada audien akan cukup kuat memengaruhi audien dalam menetapkan aktor sebagai aktor yang dibutuhkan. Aktor pun berharap ini akan menyebabkan audien bertindak secara sengaja seperti yang diinginkan aktor dari mereka. Goffman menggolongkan perhatian sentral ini sebagai ”manajemen pengaruh”. Manajemen ini meliputi teknik yang digunakan aktor untuk mempertahankan kesan tertentu dalam menghadapi masalah yang mungkin mereka hadapi dan metode yang mereka gunakan untuk mengatasi masalah itu.
Dengan mengikuti analog teatrikal ini, Goffman berbicara mengenai panggung depan (front stage). Front adalah bagian pertunjukan yang umumnya berfungsi secara pasti dan umum untuk mendefinisikan situasi bagi orang yang menyaksikan pertunjukan. Dalam front stage, Goffman membedakan antara setting dan front personal. Setting mengacu pada pemandangan fisik yang biasanya harus ada di situ jika aktor memainkan perannya. Tanpa itu biasanya aktor tak dapat memainkan perannya. Sebagai contoh, seorang dokter bedah umumnya memerlukan kamar operasi, sopir taksi memerlukan mobil, dan seorang pemain ski memerlukan es. Front terdiri dari berbagai macam barang perlengkapan yang bersifat menyatakan perasaan yang memperkenalkan penonton dengan aktor dan perlengkapan itu diharapkan penonton dipunyai oleh aktor. Dokter bedah misalnya, diharapkan memakai jubah putih, mempunyai peralatan tertentu, dan seterusnya.
Goffman kemudian membagi front personal ini menjadi penampilan dan gaya. Penampilan meliputi berbagai jenis barang yang mengenalkan kepada kita status sosial aktor (misalnya, jubah putih dokter bedah). Gaya mengenalkan pada penonton, peran macam apa yang diharapkan aktor untuk dimainkan dalam situasi tertentu (contoh, menggunakan gaya fisik, sikap). Tingkah laku kasar dan yang lembut menunjukkan jenis pertunjukan yang sangat berbeda. Umumnya kita mengharapkan penampilan dan gaya saling bersesuaian.
Meski Goffman mendekati aspek-aspek tersebut sebagai seorang interaksionis simbolik namun ia juga membahas ciri-ciri struktural dari aktor. Misalnya, ia menyatakan front personal cenderung melembaga, karena itu muncul ”representasi kolektif” mengenai apa yang terjadi di front tertentu. Sering terjadi bila aktor mengambil peran yang sudah ditentukan, mereka menemukan bidang tertentu yang telah ditentukan untuk pertunjukkan seperti itu. Akibatnya adalah bahwa bidang itu cenderung dipilih, bukan diciptakan. Gagasan ini membawa lebih banyak citra struktural ketimbang yang dapat kita terima dari kebanyakan teoritis interaksionisme simbolik lainnya.
Meski berpandangan struktural seperti itu, perhatian utama Goffman terletak di bidang interaksi. Ia menyatakan, karena orang umumnya mencoba mempertunjukkan gambaran idealis mengenai diri mereka sendiri di depan umum, maka tanpa terelakan mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan sesuatu dalam perbuatan mereka. Pertama, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan rahasia (misalnya, meminum alkohol) yang menjadi kegemaran di masa lalu (misalnya, sebagai pemabuk) yang bertentangan dengan prestasi mereka. Kedua, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang telah dilakukan dalam menyiapkan langkah yang telah diambil untuk memperbaiki kesalahan itu. Contoh, seorang sopir taksi mungkin mencoba menyembunyikan fakta bahwa ia berangkat menuju arah yang keliru.
Ketiga, aktor mungkin merasa perlu untuk menunjukkan hasil akhir dan menyembunyikan proses yang terlibat dalam menghasilkannya. Contoh, seorang profesor mungkin menghabiskan waktu beberapa jam untuk menyiapkan bahan kuliah, tetapi ia mungkin ingin berbuat seolah-olah ia selalu mengetahui materi kuliah. Keempat, aktor mungkin merasa perlu menyembunyikan dari audien bahwa dalam membuat suatu produk akhir telah melibatkan ”pekerjaan kotor”. Pekerjaan kotor termasuk tugas-tugas yang tak bersih secara fisik, semilegal, kejam dan cara-cara buruk lainnya (Goffman, 1959:44). Kelima, dalam melakukan perbuatan tertentu, aktor mungkin menyelipkan standar lain. Keenam, aktor mungkin merasa perlu menyembunyikan penghinaan tertentu atau setuju dihina asalkan perbuatannya dapat berlangsung terus. Umumnya aktor mempunyai kepentingan tetap dalam menyembunyikan seluruh faktor seperti itu dari audien mereka.
Aspek dramaturgi lain di front stage adalah aktor sering mencoba menyampaikan kesan bahwa mereka lebih akrab dengan audien ketimbang dalam keadaan yang sebenarnya. Contoh, aktor mungkin mencoba menimbulkan kesan bahwa pertunjukan di mana mereka terlibat di saat itu adalah satu-satunya pertunjukan mereka, atau sekurang-kurangnya merupakan pertunjukan mereka yang penting. Untuk melakukan ini, aktor harus yakin bahwa audien mereka dipisahkan sedemikian rupa sehingga kepalsuan pertunjukan tidak ditemukan. Meskipun ditemukan, Goffman menyatakan audien sendiri mungkin mencoba mengatasi kepalsuan itu agar citra ideal mereka tentang aktor tidak hancur. Ini mengungkap ciri interaksional pertunjukan. Keberhasilan pertunjukan tergantung pada ketertiban semua kelompok. Contoh lain pengelolaan kesan ini adalah upaya seorang aktor untuk menyampaikan gagasan bahwa ada keunikan dalam pertunjukan ini dan keunikan hubungan aktor dengan audien. Audien pun ingin merasakan menerima sebuah pertunjukan yang unik.
Aktor mencoba meyakinkan bahwa seluruh bagian pertunjukan tertentu saling bercampur menjadi satu. Dalam kasus tertentu, satu aspek yang tidak harmonis dapat mengacaukan pertunjukan. Tetapi, pertunjukan bervariasi dalam jumlah konsisten yang diperlukan. Terlewatkannya suatu upacara suci oleh seorang pendeta akan sangat mengacaukan, tetapi jika seorang sopir taksi melakukan sekali kesalahan berbelok, hal itu tak akan terlalu merusak keseluruhan pertunjukan.
CONTOH PENELITIAN
Analisa Dramaturgis pada Sales Proton pada saat Pameran
di Pondok Indah Mall Dua Jakarta
Dramaturgis adalah segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu.
Setiap orang melakukan drama dan menjalankan pertunjukan dalam hidupnya, manusia akan berperan sebagai individu yang berbeda disetiap situasi yang berbeda demi mencapai tujuannya. Peran manusiaitu sendiri tergantung pada situasi dan tujuan yang dihadapinya, sehingga manusia itu sendiri bisa masuk kedalam “akting” yang dibuatnya. ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) drama kehidupan.
Frontstage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik- baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan.
Seperti contoh dramaturgis yang dilakukan manusia adalah sebagai berikut. Saya mengamati tingkah laku peran seorang sales sebuah perusahaan otomotif malaysiabernama Proton. Setelah saya mengamati perilaku dan peran para sales selama tiga hari berturut-turut, saya mengamatiadalanya peran dramaturgis pada sales tersebut. Para salespun melakukan acting yang berbeda si setiap situasi yang berbeda. Saya mengamati perilaku mereka dari pagi hingga pameran tersebut tutup pada malam hari. Para sales tersebut melakukan acting frontstage dan backstage.
Analisa:
1. Ketika para sales tidak diawasi supervisor maka mereka memperlihatkan jati diri sebenarnya. Mereka lebih santai menjalankan peran mereka sendiri. Ketika tidak ada supervisor, mereka akanberakting sebagaimana peran mereka Apakah mereka memang sungguh-sungguh dalam mencari customer atau malas-malasan.
2. Perilaku para sales yang berbeda ketika ia berbicara dengan supervisor. Perilaku berbeda terlihat ketika para sales tidak sedang berbicara. Ia akan berakting sabagaimana mungkin untuk memperlihatkan ia benar-benar mengikuti apa yang dibicarakan sang supervisor. Kadang para sales seperti telihat sedang “mencari muka”
kepada sang supervisor agar para sales terlihat sempurna didepansang supervisor.
dengansupervisor. Bilang sang supervisor menyebalkan, maka mereka akan “ngedumel” atau membicarakan yang buruk-buruk tentang sapervisornya. Atau bahkan mereka mengeluarkan sumpah serapah kepada supervisornya.
3. Begitu juga ketika para sales berhadapan langsung dengan customer. Sebisa mungkin mereka ingin memerankan dan menampilkan kerja terbaiknya
dengan cara menjelaskan dengan sebaik-baiknya. Hal ini dilakukan agarpara sales dapat mendapatkan tujuannya, yaitu produk mereka yang berhasil terjual. Ketika mereka tidak lagi berhadapan dengan customer atau si customer tidak jadi beli mobil, maka sales tersebut akan “ngedumel” dan menjelek-jelekan si customer karena pereka tidak jadi membeli. Mereka mulai mencela para customer dengan perkataan-perkataan buruk.
Perilaku dramaturgis seperti backstage dan frontstage pada sales proton ini saya amati selama tiga hari. Dan perilaku mereka sama seperti tiga hari berturut-turut garis besarnya dapat dilihat pada table diatas.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah jelas bahwa setiaP manusia itu melakukan drama atau peran dalam kehidupannya. Baikitu peran yang ingin diperlihatkan kepada Orang lain maupun peran yang dilakukan diluar pengawasanorang lain, dan ini dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka inignkan.
SUMBER:
1. DRAMA KEHIDUPAN DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA (Tinjauan Berdasarkan Pemikiran Erving Goffman Tentang DRAMATURGI) oleh Amin Sar Manihuruk
2. www.scribd.com
3. wisegeek.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar