Postingan kali ini masih seputar perkembangan teknologi komunikasi khususnya media cetak, dimana pada postingan ini membahas tentang perkembangan surat kabar di Indonesia. Langsung saja kita masuk kepada pembahasan tentang perkembangan surat kabar di Indonesia.
Lebih dari 200 tahun
surat kabar menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya media penyampai berita
kepada khalayak dan sebagai sumber satu-satunya bagi khalayak dalam mengakses
informasi yang sama secara bersamaan. Surat kabar pertama kali diterbitkan di Eropa
pada abad ke-17. Di Indonesia sendiri, surat kabar berkembang dan mempunyai
peranannya sendiri di tengah masyarakat hingga sekarang. Sejarah mencatat bahwa
produk mesin cetak Johann Gutenberg ini, telah mengambil peran yang cukup
signifikan dalam perkembangan surat kabar di Indonesia dari berbagai aspek
kehidupan keterkaitannya sebagai media massa yang berpengaruh di masyarakat.
Berikut adalah paparan singkat mengenai surat kabar di Indonesia.
Dua Babak Sejarah
Pada dasarnya,
sejarah surat kabar di Indonesia terbagi dalam dua babak yakni babak pertama
yang biasa disebut babak putih dan babak kedua antara tahun 1854 hingga
Kebangkitan Nasional. Kedua babak inilah yang amat berperan dalam perkembangan
surat kabar di Indonesia. Babak pertama adalah babak putih, yaitu saat
Indonesia masih dalam keadaan terjajah oleh kolonialisme Belanda. Disebut babak
putih karena surat kabar pada waktu itu mutlak milik orang-orang Eropa,
berbahasa Belanda dan diperuntukkan bagi pembaca berbahasa Belanda. Kontennya
hanya seputar kehidupan orang-orang Eropa dan tidak mempunyai kaitan kehidupan
pribumi. Babak ini berlangsung antara tahun 1744-1854. Babak kedua yang
berlangsung antara tahun 1854 hingga Kebangkitan Nasional secara kasar dapat
dibagi dalam tiga periode, yakni:
Antara tahun 1854-1860
Dalam periode ini
surat kabar dengan bahasa Belanda masih memegang peranan pening dalam dunia
pers Indonesia, namun surat kabar dengan bahasa Melayu telah terbit bernama Slompret
Melajoe di Semarang yang diterbitkan oleh H.C. Klinkert.
Antara tahun
1860-1880
Surat kabar dengan
bahasa pra-Indonesia dan Melayu mulai banyak bermunculan tetapi yang menjadi
pemimpin surat kabar-surat kabar ini semuanya adalah orang-orang dari peranakan
Eropa.
Antara tahun 1881
sampai Kebangkitan Nasional
Periode ini mempunyai
ciri tersendiri karena para pekerja pers terutama para redakturnya tidak lagi
dari peranakan Eropa tetapi mulai banyak peranakan Tionghoa dan Indonesia atau
biasa disebut dengan pribumi.
Lima Periode Surat
Kabar Indonesia
Surat kabar di Indonesia
mempunyai sejarah yang cukup panjang yang secara singkat terbagi dalam enam
periode, yakni zaman Belanda, zaman Jepang, zaman kemerdekaan, zaman Orde Lama,
zaman Orde Baru dan zaman reformasi. Berikut uraian singkat keenam periode
bersejarah tersebut:
Zaman Belanda
Pada tahun 1744
dilakukanlah percobaan pertama untuk menerbitkan media massa dengan
diterbitkannya surat kabar pertama pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van
Imhoff dengan nama Bataviasche Nouvelles, tetapi surat kabar ini hanya
mempunyai masa hidup selama dua tahun. Kemudian pada tahun 1828 diterbitkanlah Javasche
Courant di Jakarta yang memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita
lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Mesin cetak pertama di
Indonesia juga datang melalui Batavia (Jakarta) melalui seorang Nederland
bernama W. Bruining dari Rotterdam yang kemudian menerbitkan surat kabar
bernama Het Bataviasche Advertantie Blad yang memuat iklan-iklan dan
berita-berita umum yang dikutip dari penerbitan resmi di Nederland (Staatscourant).
Sumber : sejarah.kompasiana.com |
Di Surabaya sendiri
pada periode ini telah terbit Soerabajasch Advertantiebland yang
kemudian berganti menjadi Soerabajasch Niews en Advertantiebland. Sedang
di Semarang terbit Semarangsche Advertetiebland dan De Semarangsche
Courant. Secara umum serat kabar-surat kabar yang muncul saat itu tidak
mempunyai arti secara politis karena cenderung pada iklan dari segi konten.
Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar tiap harinya. Setiap surat kabar
yang beredar harulah melalui penyaringan oleh pihak pemerintahan Gubernur
Jenderal di Bogor. Tidak hanya itu, surat kabar Belandapun terbit di daerah
Sumatera dan Sulawesi. Di Padang terbit Soematra Courant, Padang
Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makasar (Ujung Pandang) terbit Celebes
Courant dan Makassarsch Handelsbland.
Pada tahun 1885 di
seluruh daerah yang dikuasai Belanda telah terbit sekitar 16 surat kabar dalam
bahasa Belanda dan 12 surat kabar dalam bahasa Melayu seperti, Bintang Barat,
Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor), Selompret Melayu
dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar berbahasa
Jawa, Bromatani yang terbit di Solo.
Zaman Jepang
Saat wajah penjajah
berganti dan Jepang memasuki Indonesia, surat kabar-surat kabar yang beredar di
Indonesia diambil alih secara pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan
dengan alasan penghematan namun yang sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang
memperketat pengawasan terhadat isi surat kabar. Kantor Berita Antara diambil
alih dan diubah menjadi kantor berita Yashima dengan berpusat di Domei, Jepang.
Konten surat kabar dimanfaatkan sebagai alat propaganda untuk memuji-muji
pemerintahan Jepang. Wartawan Indonesia saat itu bekerja sebagai pegawai sedang
yang mempunyai kedudukan tinggi adalah orang-orang yang sengaja didatangkan
dari Jepang.
Zaman Kemerdekaan
Ketika pemerintah
Jepang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda pencitraan pemerintah,
Indonesiapun melakukan hal yang sama untuk melakukan perlawanan dalam hal
sabotase komunikasi. Edi Soeradi melakukan propaganda agar rakyat berdatangan
pada Rapat Raksasa Ikada pada tanggal 19 September 1945 untuk mendengarkan
pidato Bung Karno. Dalam perjalanannya, Berita Indonesia (BI) berulang kali
mengalami pembredelan dimana selama pembredelan tersebut para pegawai kemudian
ditampung oleh surat kabar Merdeka yang didirikan oleh B.M. Diah. Surat kabar
perjuangan lainnya adalah Harian Rakyat dengan pemimpin redaksi Samsudin Sutan
Makmr dan Rinto Alwi dimana surat kabar tersebut menampilkan “pojok” dan “Bang
Golok” sebagai artikel. Surat kabar lainnya yan terbit pada masa ini adalah
Soeara Indonesia, Pedoman Harian yang berubah menjadi Soeara Merdeka (Bandung),
Kedaulatan Rakyat (Bukittinggi), Demokrasi (Padang) dan Oetoesan Soematra
(Padang).
Zaman Orde Lama
Setelah
dikeluarkannya dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno,
terdapat larangan terhadap kegiatan politik termasuk pers. Persyaratan untuk
mendapat Surat Izin Terbit dan Surat Izin Cetak diperketat yang kemudian situasi
ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia untuk melakukan slowdown
atau mogok secara halus oleh para buruh dan pegawai surat kabar. Karyawan pada
bagian setting melambatkan pekerjaannya yang membuat banyak kolom surat kabar
tidak terisi menjelang batas waktu cetak (deadline). Pada akhirnya kolom
tersebut diisi iklan gratis. Hal ini menimpa surat kabar Soerabaja Post dan
Harian Pedoman di Jakarta. Pada periode ini banyak terjadi kasus antara surat
kabar pro PKI dan anti PKI.
Zaman Orde Baru
Pada periode ini,
surat kabar yang dipaksa untuk berafiliasi kembali mendapatkan pribadi awalnya,
seperti Kedaulatan Rakyat yang pada zaman orde lama harus berganti menjadi
Dwikora. Hal ini juga terjadi pada Pikiran Rakyat di Bandung. Bahkan pers
kampuspun mulai aktif kembali. Namun dibalik itu semua, pengawasan dan
pengekangan pada pers terutama dalam hal konten tetap diberlakukan. Pemberitaan
yang dianggap merugikan pemerintah harus dibredel dan dihukum dengan dilakukan
pencabutan SIUP seperti yang terjadi pada Sinar Harapan, tabloid Monitor dan
Detik serta majalah Tempo dan Editor. Pers lagi-lagi dibayangi dalam kekuasaan
pemerintah yang cenderung memborgol kebebasan pers dalam membuat berita serta
menghilangkan fungsi pers sebagai kontrol sosial terhadap kinerja pemerintah.
Pembredalanpun marak pada periode ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar