Baru-baru ini sebuah stasiun televisi mensosialisasikan sebuah reality show dengan topik Ari Wibowo mencari pembantu rumah tangga (PRT). Sebuah fenomena tersendiri dalam dunia perekrutan di tengah maraknya reality show di Indonesia. Bayangkan untuk mencari seorang PRT dibutuhkan audiensi di sembilan kota besar di Indonesia. Dari kandungannya reality show ini khas Indonesia, meskipun mengundang polemic dari sebagian kalangan. Kekhasan ini dapat bandingkan dengan The Apprentice yang sudah hadir versi Indonesianya. The Apprentice yang di Amerika dibawakan oleh Donald Trump merupakan reality show bursa kerja.
Masuknya unsur perekrutan karyawan dalam program reality show yang notabene adalah bagian dari entertainment tidak serta merta berarti bahwa urusan perekrutan itu sendiri menjadi hal yang remeh temeh. Merekrut karyawan yang unggul adalah satu mata rantai yang tidak hanya penting dalam bisnis tetapi esensial. Bagaimana tidak, rekrutmen merupakan mekanisme untuk mendatangkan aset terbesar dalam bisnis, apapun jenis bisnisnya. Bukankah bisnis hanya tinggal ide jika tidak ada yang menjalankannya? Tanpa dukungan karyawan yang baik, janji kepada pelanggan hanya akan tinggal janji. Dengan pendekatan input-output sederhana pun tampak nyata jika inputnya kurang bagus maka kemungkinan besar outputnya juga tidak akan optimal.
Mendapatkan orang yang tepat bagi perusahaan tidaklah sesederhana kelihatannya. Sebagian besar perusahaan di Indonesia mengelola sendiri perekrutan karyawannya. Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan memasang iklan di media massa. Seiring dengan tingginya tingkat pengangguran di negeri ini maka respon atas iklan lowongan kerja biasanya cukup tinggi. Berdasarkan pengalaman, tingkat respon tersebut umumnya tidak diikuti oleh pemenuhan kualifikasi seperti yang disyaratkan. Meskipun dalam iklan lowongan sudah diberi embel-embel ”Hanya kandidat yang memenuhi persyaratan akan dipanggil untuk proses seleksi,” banyak oportunis yang tetap nekat melamar. Rata-rata tidak lebih dari separuh yang lolos seleksi administratif (desk screening), dan angka rata-rata lebih kecil lagi untuk posisi kunci. Dari sekian kandidat yang lolos desk screening tadi, rata-rata juga tidak lebih dari sepertiga yang lolos seleksi tahap pertama (biasanya oleh HRD). Belum lagi, seleksi di tingkat pengguna (user) yang umumnya makin mengerucut lagi. Untuk satu posisi, idealnya tersedia sekitar tiga kandidat unggul untuk dipilih satu yang paling sesuai mengisi posisi tersebut. Namun dalam kenyataannya, tidak jarang untuk mendapatkan satu kandidat yang memenuhi kriteria saja tidak terpenuhi.
Mengapa demikian? Yang dibutuhkan perusahaan pada hakekatnya tidak hanya pengalaman dan pendidikan saja tetapi juga kesesuaian (chemistry) kandidat dengan kultur perusahaan. Jika tidak ada yang memenuhi, memaksakan diri bukanlah tindakan yang tepat. Sebagai akibatnya, perusahaan harus memasang iklan lagi, dan memulai lagi proses seleksi dari nol. Kalau ini yang terjadi, apalagi berulang terus, tentu akan merepotkan. Selain melelahkan tentu juga memakan banyak energi dan dana perusahaan. Dalam titik tertentu jasa konsultan executive search sering dijadikan alternatif. Tetapi tidak sedikit pula perusahaan yang dari awal mempercayakan proses ini pada konsultan terpercaya. Ada fenomena yang kadang baru disadari kala proses rekrutmen menemui jalan buntu. Bahwa hakekat dari perekrutan adalah transaksi bilateral di antara kandidat dan perusahaan yang ingin menyerap karyawan. Lazimnya dalam transaksi tentu ada posisi tawar menawar masing-masing pihak. Seorang profesional yang unggul tentu akan mempertimbangkan dalam-dalam suatu tawaran. Terutama bagaimana reputasi perusahaan yang bersangkutan. Jika reputasi suatu perusahaan kurang bagus maka profesional tersebut enggan untuk melamar dan cenderung mundur di tengah jalan jika terlanjur mengikuti proses seleksi.
Sebagai konsekuensi dari permintaan perusahaan yang ingin mendapatkan karyawan yang unggul adalah kaliber perusahaan yang setara dengan tingkat permintaan itu sendiri. Dalam hal ini, “if you pay peanut you’ll get monkey” tidak hanya berarti reward berupa paket finansial. Paket finansial memang diakui sebagai daya tarik, tetapi kebutuhan karyawan unggulan tidak sebatas itu saja. Dalam pendekatan loyalitas pelanggan, prioritas tidak lagi bertumpu pada pelanggan tetapi justru pada karyawan. Dengan sendirinya, perusahaan yang mempunyai reputasi sebagai perusahaan yang mengutamakan kepentingan karyawan akan menjadi magnet bagi profesional yang unggul di bidangnya.
Ketika orientasi perusahaan ditujukan kepada karyawan, banyak hal positif akan terjadi. Tentu saja karyawan akan bahagia yang tidak saja membuatnya betah bekerja, tetapi juga meningkatkan komitmennya untuk bekerja secara optimal. Sebagai hasilnya, pelanggan bahagia merasakan layanan terbaik dan loyal. Kelihatannya transaksional, tetapi itulah yang terjadi. Bandingkan dengan situasi di perusahaan yang lingkungan kerjanya tidak kondusif, yang menganggap karyawan hanya sebagai robot atau lebah pekerja. Jangankan berharap dapat mendatangkan loyalitas pelanggan, loyalitas karyawan itu sendiri pun dipertanyakan.
Dengan demikian, karyawan yang susah-susah direkrut pun belum ada jaminan untuk bertahan lama jika perusahaan tersebut kurang mampu mempertahankannya. Padahal turn over yang tidak sehat juga kontra produktif bagi bisnis perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar